Ancaman Baru Bagi Burung Maleo yang Terancam Punah di Sulawesi
Foto Ilustrasi sumber: www.idntimes.com |
Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) Mengancam Kehidupan Maleo
Sepasang burung besar dengan bulu hitam dan dada berwarna merah muda melintasi jalan yang bising untuk mencapai bagian pantai wisata berpasir yang sepi di pinggiran Mamuju, sebuah kota kecil di bagian paling barat pulau Sulawesi, Indonesia. Di sana, maleo bergiliran menggali lubang yang dalam dengan kakinya, lalu betina bertelur beberapa kali lebih besar dari telur ayam dan menguburnya. Ketika burung-burung itu pergi, salah satu dari beberapa pemburu liar yang mengawasi dan menunggu menemukan sebutir telur yang dianggap sebagai makanan lezat.
Maleo adalah spesies yang terancam punah dan jumlahnya semakin berkurang dan merupakan hewan endemik di Sulawesi sekaligus merupakan simbol keanekaragaman hayati yang subur di Indonesia. Tidak hanya itu, keistimewaan burung ini membawanya menjadi logo KTT ASEAN tahun ini, sebagai bukti kekayaan alam negara yang kaya dan beragam. Namun burung tersebut kini menghadapi ancaman baru ketika Indonesia membangun Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur, mengutip AP.
Daftar Merah Spesies Terancam Punah IUCN menggambarkan maleo sebagai spesies yang sangat terancam punah dan jumlahnya menurun dengan hanya 8.000 hingga 14.000 orang dewasa. Pembangunan IKN menyebabkan Sulawesi Barat ditetapkan sebagai 'wilayah pendukung'. Pemerintah daerah pun membangun jalan dan berencana membangun lebih banyak pelabuhan untuk mengangkut bahan bangunan guna mengembangkan ibu kota baru di Kalimantan. Burung maleo "sangat terancam punah karena langkah selanjutnya adalah kepunahan," kata ahli biologi Marcy Summers, direktur Alliance for Tompotika Conservation, sebuah LSM yang bekerja pada konservasi maleo di provinsi Sulawesi Tengah.
Ancaman Telur Maleo yang Dimanfaatkan untuk Dijual dan Dikonsumsi
Untuk saat ini, tidak ada angka pasti berapa jumlah maleo yang tersisa di Kabupaten Mamuju maupun di wilayah Sulawesi Barat. Dinas Kehutanan Sulawesi Barat baru mampu mendata tempat bersarang maleo di 23 desa berdasarkan laporan warga. Namun hanya 18 yang dianggap sebagai tempat bersarang aktif. Selain disebabkan oleh pembangunan IKN, pemburuan liar dengan mengambil telur dan menjualnya merupakan ancaman selanjutnya. Para pemburu menjual telur tersebut hanya dengan harga 15.000 rupiah kepada orang-orang yang menganggapnya sebagai makanan, seperti kaviar. Menurut peraturan yang berlaku, pengambilan telur maleo adalah ilegal karena hewan itu dilindungi undang-undang. Ancaman hukuman maksimalnya adalah lima tahun penjara dan denda Rp100 juta rupiah bagi siapa saja yang mengambil, merusak, memusnahkan, memperdagangkan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi. Tapi faktanya belum ada yang menerima hukuman tersebut dan pemburu telur masih ada.
Perlunya Upaya Konservasi dan Proteksi terhadap Maleo di Sulawesi
Belum terlambat untuk menghidupkan kembali populasi maleo yang memerlukan tiga elemen penting untuk berkembang: hutan asli untuk hidup; tempat bersarang yang hangat dan berpasir di sepanjang pantai untuk bertelur; dan koridor yang aman untuk bepergian bolak-balik. Para pegiat konservasi mengatakan burung tersebut juga memerlukan kemauan politik dari pemerintah dan masyarakat untuk mencegah hilangnya lebih banyak maleo. "Masih mungkin untuk memulihkan dan melindungi suatu kawasan agar maleo dapat terus hidup, dapat terus ada di Sulawesi Barat, di Kabupaten Mamuju," kata Summers dari Aliansi Konservasi Tompotika. "Karena ini satu-satunya tempat tersisa di pantai barat Sulawesi dimana mereka masih hidup."
CNNIndonesia.com sudah menghubungi Sidik Pramono selaku Ketua Tim Komunikasi IKN. Namun, sampai berita ini dimuat, yang bersangkutan belum memberikan respons. [Gambas:Video CNN]
Video Terkait:
Tidak ada komentar
Posting Komentar